Sabtu, 17 April 2010

membumikan kasih pada alam

Bentuk refleksi ahkir tahun 2007 Indonesia belum mampu untuk menjawab apalagi sampai berbicara dengan lantang perihal keberhasilan mendidik masyarakat yang memiliki dedikasi moral yang baik, mengapa? Jawaban yang tepat adalah mungkin(may be yes or may be no) it’s depend of you, karena titik balik jawaban tadi menggambarkan secara demografis perwujudan kemajemukan keadaan sosio kultural masyarakat dewasa ini. Berbagai bentuk keserakahan (greed price), keangkuhan( arrogance) pun muncul manakala kita mencoba untuk menakar seberapa penting keterlibatan kita dalam ranah-ranah sosial, kita seakan masih terperdaya akan gemerlapnya ritme keegoisan dari pada harus memikirkan definisi pentingnya makna kearifan lokal, ramalan joyoboyo mungkin perlu sejenak kita tengok dan renungkan tentang akan adanya arus deras perubahan pergeseran nilai kemanusiaan, betapa mahalnya istilah kebersamaan bahkan nilai keadilan pun enyah ibarat batang kayu yang diterjang banjir, sepintas memang benar kalau kita mengatakan bahwa dalam era digital saat ini manusia dianjurkan untuk bisa saling berkompetisi dengan cara memperdayai namun hal itu dibenarkan dalam sudut pandang prosedural akan tetapi bila bisa jauh menelaah akan memunculkan bukti bahwa memperdayai disini juga memiliki kandungan nilai keadilan, hal ini yang luput kita pahami.

Seringkali juga kita pernah mendengar ungkapan polos (sing gede tambah kuat sing cilik tambah mlarat), memang tidak bisa disalahkan bila sebagian besar korban (victim) ini melakukan bentuk reaksi yang dengan tegas mendengungkan nada sindiran tersebut, segala keterbatasan adalah kendala paling besar, maka media untuk mengaktualisasi diri hanyalah dengan meneriakkan sekaligus tetap berharap segala sesuatu yang memiliki ritme penindasan segera berakhir

Kegoncangan diatas setidaknya dapat kita konstelasikan dengan maraknya peristiwa pembalakan hutan scara ilegal yang dilakukan segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab dengan berbagai macam motif, namun bagaimanapun alasannya tindakan ini harus segera dihentikan kalau tidak ada dua dampak besar yang secara gamblang akan terungkap, pertama pemerintah akan memiliki nilai tawar yang rendah dimata hukum itu sendiri ini blunder besar kalau saja pemerintah dan jajarannya gagal dalam mengemban amanat undang-undang tersebut, kedua seperti yang kita saksikan diawal lembaran baru 2008 ini yaitu tenggelamnya 60% wilayah jawa timur dan sebagian juga jawa tengah akibat meluapnya sungai bengawan solo, bahkan kondisi inipun diperparah dengan terjadinya longsor ditawangmangu yang menelan korban hampir 80 orang meninggal dunia, menurut sumber yang dihimpun sekarang warga yang mengungsi akibat bencana ini mencapai 120.000 orang, tidak ada alasan lain bencana ini terjadi juga karena andil manusia sendiri yang serakah, bagaimana hutan sebagai penyeimbang serta daerah (absorption) beralih fungsi menjadi lahan ekonomi tinggi, sebegitu murahkah hutan? Seperti yang diungkapkan Nietzche Freud bahwa agama bukan pelarian neurotis dan infantil atas suatu relitas, berkaca dari secuil kata mutiara tersebut alangkah kita lebih bijak dalam menakar fungsi hutan sesungguhnya, bukan malah dijadikan pelarian dalam menghadapi realitas kehidupan terutama ranah-ranah bisnis, mungkin mereka bisa memenuhi target produksi yang diminta tapi mereka sama sekali tidak dapat memenuhi permintaan masyarakat yang menuntut agar mereka tidak dipermainkan atau bahkan jadi korban pemerkosaan alam tercinta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar